Indonesia di Laut Cina Selatan: Berjalan sendiri
Selagi Indonesia di bawah pimpinan Jokowi dapat diharapkan terus mengambil langkah unilateral untuk memperkuat posisi Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna, Jokowi belum memainkan peran diplomasi yang aktif pada isu Laut Cina Selatan yang lebih luas. Untuk jangka panjang, Indonesia akan lebih baik mencurahkan lebih banyak perhatian pada kepemimpinan bidang diplomasinya. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
- Di bawah Presiden Jokowi, pendekatan Indonesia terhadap persengketaan Laut Cina Selatan telah berpindah dari pendekatan aktor diplomasi aktif yang mencari penyelesaian damai atas persengketaan-persengketaan yang lebih luas menjadi pendekatan yang pada pokoknya berfokus pada melindungi kepentingan-kepentingannya sendiri di sekitar Kepulauan Natuna sambil tidak menimbulkan rasa tidak senang Tiongkok.
- Peralihan posisi Indonesia telah didorong oleh peningkatan pelanggaran-pelanggaran batas oleh Tiongkok di sekitar Kepulauan Natuna, kurangnya minat Jokowi pada peran besar di bidang diplomasi, serta tujuan Jokowi untuk menarik investasi Cina untuk proyek-proyek infrastruktur pentingnya.
- Namun, pendekatan Jokowi terhadap Laut Cina Selatan dan minatnya pada hubungan-hubungan yang lebih baik dengan Beijing dapat memburuk, jika Tiongkok tidak menepati janji-janji investasinya, bersikap terlalu asertif di sekitar Kepulauan Natuna, atau mengambil sikap mau melakukan intervensi dalam perlindungan etnis Tionghoa di Indonesia dari kekerasan massa.
Versi Bahasa Indonesia ini awalnya diterbitkan dalam Bahasa Inggris pada tanggal 2 Desember 2016.
This is a translation of a research paper originally published on 2 December 2016
RINGKASAN
Di bawah Presiden Jokowi, pendekatan Indonesia terhadap persengketaan-persengketaan Laut Cina Selatan telah beralih dari pendekatan pemain aktif yang berusaha mencari penyelesaian damai atas persengketaan-persengketaan yang lebih luas menjadi pendekatan yang utamanya berfokus pada melindungi kepentingan-kepentingannya sendiri di sekitar Kepulauan Natuna sambil tidak menimbulkan rasa tidak senang Tiongkok. Pergantian posisi Indonesia telah didorong oleh peningkatan pelanggaran-pelanggaran batas oleh Tiongkok di sekitar Kepulauan Natuna, kurangnya minat Jokowi pada diplomasi regional, dan tujuan Jokowi untuk menarik investasi Tiongkok untuk proyek-proyek infrastruktur pentingnya.
Pendekatan Indonesia yang lebih unilateral menyebabkan negara-negara lain di Asia Tenggara menjadi lebih terisolasi dan rentan terhadap tekanan diplomasi Cina daripada sebelumnya, saat berada di bawah pendahulu Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini mengurangi kemungkinan-kemungkinan adanya tindakan bersama oleh pemerintah-pemerintah negara-negara Asia Tenggara yang ingin menangkis tekanan Tiongkok yang lebih lanjut, sehingga menyebabkan persaingan yang lebih sengit antara negara-negara besar di wilayah tersebut. Namun, pendekatan Jokowi terhadap Laut Cina Selatan dan minatnya pada hubungan-hubungan yang lebih baik dengan Beijing dapat memburuk, jika Tiongkok tidak menepati janji-janjinya dalam bidang investasi, bersikap terlalu asertif di sekitar Kepulauan Natuna, atau mengambil sikap mau melakukan intervensi dalam perlindungan etnis Tionghoa di Indonesia dari kekerasan massa.
KATA PENGANTAR
Pada tanggal 17 Juni 2016, sebuah kapal korvet kecil Angkatan Laut Indonesia, KRI Imam Bonjol, menghadapi setidaknya tujuh kapal nelayan dan dua Kapal Pengawas Pantai Tiongkok (Chinese Coast Guard) yang jauh lebih besar di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dekat Kepulauan Natuna yang terpencil.[1] Kepulauan Natuna merupakan ujung paling utara kepulauan Indonesia di bagian ini, terletak antara Kalimantan dan Semenanjung Malaysia, merentang hingga ke ujung selatan Laut Cina Selatan. Negara-negara tetangga sudah sejak lama mengakui perairan di bagian utara Kepulauan Natuna sebagai bagian dari ZEE Indonesia, namun Kementerian Luar Negeri Tiongkok telah menyiratkan sejak tahun 1990-an — dan untuk pertama kalinya pada tahun 2016 menyatakan secara terbuka — bahwa wilayah perairan tersebut adalah “daerah penangkapan ikan bagi Tiongkok dari dulu” (“traditional Chinese fishing grounds”).[2]
KRI Imam Bonjol mengejar dan, setelah melepaskan tembakan-tembakan peringatan, mengamankan salah satu kapal nelayan serta menahan para awak kapalnya karena mereka menangkap ikan secara ilegal, sebelum kembali ke markasnya yang sudah kumuh di Ranai di pulau Natuna Besar. Insiden tersebut adalah kejadian terakhir dari serangkaian pertemuan pihak berwenang Indonesia dan kapal-kapal Tiongkok di wilayah tersebut. Walaupun Kapal Pengawas Pantai Tiongkok tidak mengambil risiko terjadinya konfrontasi dengan berusaha mencegah penahanan tersebut, namun seperti yang terjadi pada insiden serupa pada bulan Maret 2016, Kementerian Luar Negeri Tiongkok melakukan protes dengan keras dan terbuka keesokan harinya.[3]
Pada 23 Juni 2016, Presiden Indonesia Joko Widodo, yang lebih suka dikenal dengan nama pendek Jokowi, terbang ke Ranai, pertama kalinya seorang presiden Indonesia berkunjung ke Natuna Besar. Dengan mengenakan jaket bomber, ia menaiki KRI Imam Bonjol, yang dinamai dengan nama seorang pahlawan anti kolonial pada abad ke-19, dan ia mengadakan rapat kabinet terbatas di sana. Di situlah, mereka mendiskusikan perkembangan bidang pertahanan dan ekonomi wilayah tersebut, yang kaya akan ikan dan gas alam.[4]
Kunjungan Jokowi ke Natuna dimaksudkan untuk mengirim sinyal ke pemimpin Tiongkok di Beijing bahwa Indonesia akan melindungi hak-hak kedaulatannya di ZEE-nya, jika perlu dengan kekerasan. Di dalam dan di luar Indonesia, para analis yang mengkritik tindakan Tiongkok di Laut Cina Selatan memuji langkah yang mereka sebut sebagai dikeraskannya pendekatan Indonesia dalam hubungannya dengan Tiongkok.[5]
Namun seperti yang ditunjukkan oleh analisis ini, kunjungan Jokowi mengaburkan sikap yang lebih akomodatif yang telah diambil oleh pemerintahannya terhadap Tiongkok selagi mengejar investasi Tiongkok pada bidang infrastruktur. Walaupun Jokowi telah menyatakan retorikanya yang tegas tentang hak-hak kelautan, Indonesia berusaha agar dalam kampanyenya melawan penangkapan ikan liar, mereka tidak membidik kapal-kapal Tiongkok; dan dalam diplomasi regionalnya, pemerintahan Jokowi berusaha sebaik-baiknya untuk memastikan agar mereka tidak menyinggung perasaan pihak Beijing. Posisi Indonesia ini penting, karena sebagai negara terbesar dan berpopulasi terbanyak di Asia Tenggara, Indonesia telah sejak dulu dianggap sebagai yang paling berpengaruh di antara negara-negara di Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang memimpin diplomasi penting wilayah tersebut dalam isu-isu seperti sengketa-sengketa Laut Cina Selatan. Oleh karena itu, perubahan sekecil apa pun dalam pendekatan Indonesia dapat berakibat luar biasa besar bagi wilayah tersebut.
Analisis ini mengusut dinamika geografis, hukum, dan sejarah persengketaan antara Tiongkok dan Indonesia di Laut Cina Selatan. Analisis ini menempatkan dinamika-dinamika ini di dalam konteks kebijakan luar negeri Jokowi yang lebih luas dan fokusnya pada investasi infrastruktur. Analisis ini menguraikan secara detail cara-cara yang telah diusahakan Indonesia agar tidak menyinggung perasaan pihak Beijing dalam isu-isu penangkapan ikan ilegal dan diplomasi regional mengenai Laut Cina Selatan. Analisis ini memeriksa tiga alasan mengapa pendekatan baru Jokowi mungkin tidak akan bertahan lama. Akhirnya, analisis ini menyatakan bahwa perubahan dalam pendekatan Indonesia telah berakibat negatif pada kestabilan regional dan kepentingan-kepentingan jangka panjang Indonesia.
TETANGGA-TETANGGA BARU: INDONESIA DAN TIONGKOK DI SEKITAR NATUNA
Selagi klaim dan tindakan Tiongkok di Laut Cina Selatan telah menyentuh semua negara di sepanjang pesisir perairan tersebut, persengketaan Tiongkok dengan Indonesia seringkali tertutupi oleh sengketa-sengketa yang lebih meresahkan dengan negara-negara yang lebih dekat dengan daratan Tiongkok, terutama Filipina dan Vietnam.
INDONESIA DAN Garis putus-putus Tiongkok
Sama seperti sengketa-sengketa wilayah lain di Laut Cina Selatan, awal mula persengketaan saat ini antara Tiongkok dan Indonesia dapat ditemukan pada peta ‘terkenal’ yang dibuat oleh para diplomat Tiongkok Nasionalis pada tahun 1947 yang mencantumkan garis putus-putus yang mengelilingi sebagian besar Laut Cina Selatan. Letak geografi garis putus-putus pada peta-peta Tiongkok berbeda-beda. Namun, pada setiap versi, salah satu dari garis putus-putus tersebut saling menyilang dengan batas utara dari wilayah ZEE Indonesia di utara Kepulauan Natuna, sekitar 1400 kilometer dari daratan Tiongkok.[6] Perairan di wilayah yang dipersengketakan tersebut adalah wilayah perikanan yang penting dan dasar laut di bawahnya merupakan sumber cadangan-cadangan gas alam yang besar.[7]
Pihak Beijing tidak pernah memberikan penjelasan yang jelas tentang sifat klaim yang disiratkan oleh garis putus-putus tersebut. Pernyataan-pernyataan pihak Tiongkok yang paling ekspansif telah menyiratkan bahwa garis putus-putus tersebut menunjukkan suatu klaim pada suatu perairan teritorial, atau pada suatu ZEE. Pernyataan-pernyataan lain telah menyiratkan bahwa garis tersebut hanyalah garis panduan yang menggambarkan klaim-klaim Tiongkok atas hak-hak penangkapan ikan di dalam garis tersebut, atau atas pulau-pulau dan bebatuan di dalamnya, namun tidak pada hak-hak kelautan terpisah apa pun.[8] Tidak seperti negara-negara lain di wilayah tersebut yang terkena dampak garis putus-putus Tiongkok, Tiongkok dan Indonesia tidak berselisih mengenai kedaulatan atas daratan apa pun. Oleh karenanya, bagi Indonesia, klaim-klaim kelautan Tiongkok di dalam garis putus-putus itulah masalah utamanya.
Para pejabat Indonesia telah berulang kali meminta Tiongkok memperjelas sifat garis putus-putus itu sejak mereka pertama kali mengetahui pada tahun 1993 bahwa garis itu mencakup bagian dari ZEE Indonesia.[9] Pada bulan Juli 2010, Indonesia menulis dalam catatan verbal (note verbale) kepada Sekretaris Jenderal PBB bahwa garis tersebut “jelas-jelas tidak memiliki basis hukum internasional”, dan bahwa garis tersebut menimbulkan risiko pembalikan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Kelautan atau United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS).[10] Namun, pada umumnya Indonesia telah berpendapat bahwa, karena berdasarkan hukum internasional klaim apa pun atas hak-hak kelautan seperti perairan teritorial, ZEE, atau hak penangkapan ikan tidak dapat disahkan tanpa adanya suatu acuan kepada daratan, dan karena tidak ada persengketaan antara Tiongkok dan Indonesia mengenai kedaulatan atas daratan, sikap yang paling baik adalah mengabaikan adanya garis tersebut. Telah ada sebuah konsensus di Jakarta bahwa memperkarakan garis tersebut akan memberikan pengesahan yang sebenarnya tidak layak didapatkan.[11]
Indonesia memperoleh manfaat utama dari keengganannya mengakui garis putus-putus itu: sikap ini memungkinkan Indonesia untuk memperlakukan ketidaksepakatan apa pun yang muncul akibat tindakan Tiongkok di wilayah-wilayah yang tumpang tindih itu sebagai hal yang tidak berhubungan dengan sengketa-sengketa negara-negara lain di kawasan itu akibat garis putus-putus pihak Beijing. Oleh karena itu, Indonesia menyatakan bahwa Indonesia tidak ikut menggugat dalam persengketaan-persengketaan Laut Cina Selatan yang lebih luas. Ini adalah status yang telah lama dikatakan para pejabat Indonesia memungkinkan Indonesia memainkan peran sebagai “perantara yang tidak memihak” (“honest broker”) dalam negosiasi mengenai sengketa-sengketa tersebut, contohnya dengan menjadi tuan rumah “lokakarya-lokakarya” informal tentang isu-isu tersebut dari tahun 1990 hingga 2014.[12] Akan tetapi, setelah lebih dari seperempat abad, masih belum jelas apa hasil dari jasa-jasa Indonesia dalam negosiasi-negosiasi ini.[13] Terlebih lagi, keengganan Indonesia untuk menantang adanya garis putus-putus itu secara lebih terbuka melemahkan upaya-upaya internasional untuk mendorong mundur klaim-klaim Tiongkok yang cenderung meluas, meskipun keengganan ini memungkinkan Indonesia menghindari perbincangan-perbincangan sulit dengan Tiongkok.
Konfrontasi di laut
Setidaknya dalam tiga peristiwa pada tahun 2010 dan 2013, kapal-kapal Indonesia yang berupaya untuk menahan kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok di Laut Cina Selatan diperintahkan oleh kapal-kapal penegak hukum Tiongkok untuk melepaskan kapal-kapal Tiongkok yang ditahan Indonesia. Ketika menanggapi perilaku mengancam kapal-kapal Tiongkok itu, kapal-kapal Indonesia menurut.[14] Kapal-kapal Tiongkok telah terus memancing di ZEE Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna, dan pada bulan-bulan terakhir ini kapal-kapal itu telah disertai oleh Kapal-Kapal Pengawas Pantai Tiongkok, sama seperti insiden pada 2010 dan 2013. Tiga konfrontasi antara kapal-kapal Indonesia dan Tiongkok pada tahun 2016 patut diperhatikan.
Pertama, pada tanggal 19 Maret 2016, sebuah kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia menangkap kapal pemukat Tiongkok yang menangkap ikan di ZEE Indonesia. Kapal tersebut mengejar, melepaskan tembakan peringatan, dan mengamankan kapal pemukat itu, serta menyeretnya kembali ke dermaga. Waktu kedua kapal tersebut mendekati perairan teritorial Indonesia hampir 12 jam sesudahnya, sebuah Kapal Pengawas Pantai Tiongkok yang besar muncul di kaki langit, menuntut agar kapal pemukat itu dilepaskan. Saat kapal Indonesia tidak menurut, kapal pengawas Tiongkok menabrak kapal Tiongkok yang sedang ditarik, sehingga memaksa aparat Indonesia untuk melepaskannya.[15]
Para diplomat Tiongkok menelepon para pejabat di Jakarta untuk mendesak agar Indonesia merahasiakan insiden ini, akan tetapi, sebelum rekannya dari Kementerian Luar Negeri dapat menghentikannya, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti menggelar konferensi pers untuk membeberkan rincian insiden tersebut.[16] Ini merupakan peningkatan dari insiden-insiden sebelumnya pada 2010 dan 2013, saat Indonesia memutuskan untuk tidak mempublikasikan konfrontasi-konfrontasi tersebut. Publikasi peristiwa ini mengakibatkan adanya tekanan politik di dalam negeri agar Indonesia mengambil sikap yang lebih tegas terhadap penangkapan ikan ilegal oleh Tiongkok.
Sebagai tanggapan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengumumkan rencana-rencana untuk mengirim tiga kapal fregat, lima jet tempur F-16, dan satu batalion tentara ke Ranai, dan berkata demikian kepada para reporter: “Natuna adalah sebuah pintu; jika pintu tidak dijaga, maka maling-maling akan masuk.”[17] Indonesia juga melayangkan protes diplomatik keras yang kurang terkoordinasi, ketika menteri perikanan, menteri luar negeri, dan menteri pertahanan semuanya mengumumkan bahwa mereka akan memanggil duta besar Tiongkok. Pada penjelasannya, Tiongkok menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan “zona penangkapan ikan Tiongkok sejak dulu” (“traditional Chinese fishing zone”), sebuah klaim yang mengakibatkan protes-protes lanjutan dari pihak Jakarta.[18]
Tetapi, para pejabat Indonesia juga menunjukkan tanda-tanda kehati-hatian, dengan adanya arahan Jokowi pada menteri koordinator bidang politik, hukum dan keamanan, Luhut Panjaitan, untuk mengingat bahwa Tiongkok adalah “sahabat Indonesia”, dan mengirimnya ke Beijing enam minggu sesudahnya untuk menghadiri rapat-rapat mengenai persengketaan tersebut dan investasi Tiongkok.[19] Saat kembali, Luhut berupaya untuk melemahkan gagasan adanya pelanggaran, dengan memberi tahu para reporter bahwa Indonesia akan berupaya untuk bekerja sama dengan Tiongkok dalam bidang perikanan di sekitar Natuna.[20]
Hanya beberapa minggu setelah kepulangan Luhut, pada tanggal 27 Mei, kapal fregat Angkatan Laut Indonesia KRI Oswald Siahaan memergoki sebuah kapal pemukat Tiongkok di lokasi serupa, dan sekali lagi mengejar dan melepaskan tembakan-tembakan peringatan sebelum menahan delapan nelayan dan mengamankan kapal tersebut persis di bagian timur dari batas ZEE Indonesia.[21] Kali ini, kapal-kapal pengawas Tiongkok terdekat tidak melakukan intervensi, walaupun setelah itu Kementerian Luar Negeri Tiongkok memprotes penahanan tersebut.[22] Insiden 17 Juni, yang diceritakan pada bagian pendahuluan analisis ini, terjadi tiga minggu sesudahnya. Jokowi melakukan kunjungan kedua ke Ranai untuk penutupan latihan tempur Angkatan Udara berskala besar di bulan Oktober.[23]
Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan kepada para reporter di bulan September 2016 bahwa belum ada lagi penyusupan-penyusupan oleh kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok ke dalam ZEE Indonesia sejak insiden 17 Juni tersebut, yang mungkin menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diambil Indonesia telah memberikan efek pencegahan.[24] Mungkin pula pergerakan nelayan Tiongkok dan kapal-kapal pengawalnya bersifat musiman. Dari enam insiden antara kapal Indonesia dan Tiongkok yang diketahui, empat insiden terjadi saat masa larangan penangkapan ikan oleh Tiongkok di bagian utara Laut Cina Selatan dari pertengahan Mei hingga 1 Agustus. Beberapa akademisi berpendapat bahwa larangan itu mendorong para nelayan Tiongkok ke selatan hingga ke Kepulauan Spratly, dan logika yang sama dapat berlaku pada Kepulauan Natuna.[25]
PERUBAHAN-PERUBAHAN PADA KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA DI BAWAH KEPEMIMPINAN JOKOWI
Demi melindungi kemerdekaan dan integritas teritorialnya, Indonesia pada umumnya telah berupaya untuk mengelola penyebaran kewenangan di Asia Tenggara. Mantan Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, menyebut strategi ini sebagai suatu “keseimbangan dinamis”, dan melalui strategi ini Indonesia akan berusaha untuk menggeser beban diplomasinya antara Tiongkok dan Amerika Serikat untuk mempertahankan keseimbangan di antara kedua negara itu.[26] Dengan demikian, Indonesia telah lama berusaha untuk menghindari persepsi bahwa Indonesia telah bersekutu terlalu dekat baik dengan Amerika Serikat maupun Tiongkok, meski langkah ini berarti mengambil sikap-sikap yang terlihat tidak konsisten dengan kepentingan Indonesia sendiri dalam isu-isu tertentu.
Dalam hubungannya dengan persengketaan Laut Cina Selatan, hal ini berarti bahwa seiring dengan meningkatnya kekhawatiran AS akan persengketaan ini, yang dimulai dengan intervensi Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton di Forum Regional ASEAN di Hanoi pada tahun 2010, semakin kecil kemungkinan Indonesia berpihak pada posisi-posisi AS dalam isu tersebut, walaupun jika hal ini dilakukan, langkah ini akan dapat menguntungkan Indonesia. Misalnya, pendahulu Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono, menampik permohonan Tiongkok agar Laut Cina Selatan jangan dimasukkan ke dalam agenda Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur pada 2011 di Bali — namun ia juga menolak saran-saran AS agar ia memfasilitasi pertemuan itu dengan cara yang mengisolasi pihak Beijing, walaupun ia sendiri khawatir akan perilaku Tiongkok.[27]
Akan tetapi, seiring dengan kontinuitas ini, ada pula perubahan-perubahan penting pada pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi, yang mempengaruhi cara Indonesia memandang kepentingan-kepentingannya terkait negara-negara besar itu, dan kepentingan-kepentingannya di Laut Cina Selatan.
Yudhoyono menjadi presiden pada tahun 2004 disertai oleh minat yang sudah lama ada dan pengalaman yang banyak dalam urusan luar negeri. Selama sepuluh tahun masa jabatannya, ia berusaha untuk menaikkan kedudukan Indonesia di pentas dunia dan meningkatkan hubungan Indonesia dengan negara-negara asing. Yudhoyono menyokong kebijakan “seribu kawan, nol musuh” (“thousand friends, zero enemies”) dan “kebijakan luar negeri segala arah” (“all directions foreign policy”).[28]
Menjelang akhir masa jabatannya, sejumlah tokoh masyarakat Indonesia mulai menyuarakan kritik atas kebijakan luar negeri Yudhoyono. Menurut mereka, Indonesia telah menjadi lemah di bawah kepemimpinan Yudhoyono, yang diplomasi ‘keliling dunia menghadiri konferensi tingkat tinggi’-nya dikatakan hanya sekedar perjalanan memuaskan ego. Beberapa pengritik bahkan menyiratkan bahwa ia telah berupaya agar tidak menyinggung pemerintah-pemerintah asing agar terus dipuji oleh mereka, dengan mengutip, misalnya, penolakannya untuk memerintahkan eksekusi para pengedar narkoba asing selama bertahun-tahun sesudah dakwaan dijatuhkan, dan kegagalan dalam melindungi para pekerja migran Indonesia di luar negeri.[29]
Tidak seperti Yudhoyono, Jokowi menduduki jabatan ini pada 2014 tanpa pengalaman diplomasi atau militer atau pandangan tegas tentang konsep-konsep abstrak yang menjadi dasar praktik kebijakan luar negeri Indonesia, seperti keseimbangan dinamis atau kedudukan ASEAN sebagai pusat dalam diplomasi regional. Sebaliknya, ia menerobos masuk ke pentas nasional sebagai walikota yang ‘bisa kerja’, dan reputasinya naik karena menelurkan hasil-hasil cepat. Dalam kampanyenya sebagai calon presiden, ia berjanji akan berfokus untuk mempercepat pengembangan ekonomi Indonesia.
Dengan pandangan bahwa diplomasi sebagai upaya elitis yang terlalu mengurusi konsep-konsep abstrak, Jokowi khususnya berpandangan skeptis akan manfaat summit diplomacy (diplomasi multilateral lewat pertemuan puncak), yang ia hubungkan dengan gaya keliling dunia Yudhoyono.[30] Saat ia menduduki jabatan, kebijakan luar negeri menjadi kurang penting karena penekanan baru pada pengembangan ekonomi. Ia menginstruksikan Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk berfokus pada ‘diplomasi membumi’, yang diartikan sebagai diplomasi yang akan ‘berguna bagi rakyat’, dengan fokus khusus pada perdagangan dan investasi.[31] Demikian pula, ia memulai penumpasan penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal asing, walaupun ada keberatan dari para diplomat bahwa hal itu akan merusak hubungan Indonesia dengan para tetangganya. Peran Tiongkok dalam masing-masing inisiatif ini semakin terbuka.
Agenda infrastruktur Jokowi
Fokus untuk menarik investasi di bidang infrastruktur berada di pusat agenda pengembangan Jokowi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan bahwa Indonesia memerlukan sekitar
$450 miliar untuk investasi bidang infrastruktur selama lima tahun dari tahun 2015 hingga 2019, tetapi pemerintah hanya mampu menyediakan sepertiga dari jumlah tersebut.[32] Indonesia mengalami kesulitan dalam tahun-tahun belakangan ini dalam menarik investasi asing langsung pihak swasta untuk proyek-proyek infrastruktur penting, yang terhambat oleh reputasi maraknya korupsi serta proses regulasi yang tumpang tindih dan lambat yang mengakibatkan pembebasan tanah dan perolehan izin menjadi sulit.[33]
Untuk mengisi celah investasi infrastruktur tersebut, Jokowi telah berpaling pada Beijing. Para penasihat Jokowi mengatakan bahwa ia mengagumi pembangunan Tiongkok yang pesat dan memandang Presiden Tiongkok Xi Jinping sebagai sesama pemimpin yang berorientasi pada hasil.[34] Dorongan Tiongkok yang luar biasa dalam mendanai proyek-proyek infrastruktur melalui inisiatif Jalur Sutera Maritim (Maritime Silk Road) dan Bank Investasi Infrastruktur Asia atau Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang baru memberikan kesempatan untuk memperoleh pendanaan dengan syarat yang lebih baik daripada dana yang didapatkan di pasar swasta. Walaupun Jokowi dan para penasihatnya merasa skeptis terhadap sebagian besar institusi keuangan multilateral, mereka menyebut relatif rendahnya investasi Tiongkok di Indonesia saat ini dan rendahnya jumlah proyek Tiongkok di Indonesia yang telah diumumkan yang membuahkan hasil, serta berargumen bahwa dengan sedikit usaha tambahan, lebih banyak investasi dari Tiongkok dapat diperoleh.[35]
Antusiasme pemerintahan Jokowi akan investasi dari Tiongkok tampak nyata ketika pemerintah, dalam kompetisi yang dipantau dengan ketat, memberikan kontrak jalur kereta api berkecepatan tinggi antara Jakarta dan Bandung senilai $6 miliar kepada konsorsium badan-badan usaha milik negara Tiongkok dan Indonesia pada September 2015. Walaupun studi kelaikan yang didukung pemerintah Jepang untuk jalur tersebut telah dimulai pada 2011, Pemerintah Tiongkok baru menawarkan bantuan untuk membangun jalur itu hanya beberapa bulan sebelum kontrak tersebut diberikan, pada April 2015. Tawaran pihak Jepang untuk proyek itu dianggap lebih superior di bidang teknologi dan ketentuan pembiayaan, namun tawaran pihak Tiongkok menawarkan waktu konstruksi yang lebih cepat, dengan biaya yang lebih rendah, dan — yang terpenting — tidak mewajibkan jaminan pendanaan oleh Pemerintah Indonesia.[36]
Fokus keseluruhan Jokowi pada pencapaian hasil yang cepat dan pembiayaan yang menarik menunjukkan bahwa jalur kereta tersebut bukanlah kali terakhir Jokowi berpaling ke pihak Beijing untuk mendapat investasi dalam proyek-proyek infrastruktur besar. Namun, seperti yang dijabarkan nanti dalam analisis ini, antusiasme Jokowi akan investasi dari Tiongkok dapat menyusut apabila Tiongkok tidak memenuhi janji-janjinya berinvestasi di bidang infrastruktur.
Menumpas penangkapan ikan ilegal
Salah satu perwujudan yang mencolok dari pendekatan Jokowi yang cukup keras dalam memenuhi kepentingan nasional adalah kampanye pemerintahannya dalam memberantas penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia. Sejak bulan Desember 2014, kapal-kapal asing yang didapati menangkap ikan secara ilegal telah disita, ditahan awak kapalnya, dan beberapa dari kapal-kapal itu ditenggelamkan atau diledakkan secara dramatis agar ditangkap kamera. Jajak pendapat telah mengindikasikan bahwa penumpasan tersebut adalah salah satu kebijakan pemerintahan Jokowi yang terpopuler.[37] Jika menimbang peristiwa-peristiwa terkenal penangkapan ikan ilegal oleh Tiongkok yang didiskusikan tadi, kita mungkin mengira bahwa pendekatan ini akan mengakibatkan gesekan pada hubungan antara Jakarta dan Beijing, dan beberapa diplomat dan analis asing telah meramalkan demikian. Namun, hal ini tidaklah terjadi.
Dalam program ini, Indonesia telah meledakkan 317 kapal penangkap ikan asing, namun telah menangani kapal-kapal Tiongkok dengan jauh lebih berhati-hati daripada kapal-kapal negara lain. Pada bulan Desember 2014, sebuah kapal besar dengan para awak kapal Tiongkok telah diamankan oleh para petugas bea cukai di Merauke, Papua, jauh dari Laut Cina Selatan. Walaupun Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti berargumen bahwa kapal tersebut seharusnya ditenggelamkan, rekan-rekannya di Kabinet berpendapat bahwa melakukan hal itu akan membuat Tiongkok marah.[38] Setelah Kabinet memutuskan bahwa kapal tersebut tidak ditenggelamkan, Susi terus berargumen agar Indonesia menenggelamkan sebuah kapal Tiongkok, untuk menunjukkan bahwa tidak ada kapal negara mana pun yang dapat beroperasi secara kebal hukum. Pada bulan Mei 2015, para pejabat Indonesia diam-diam membenamkan sebuah kapal penangkap ikan Tiongkok yang telah ditangkap enam tahun sebelumnya.[39] Tidak ada kapal Tiongkok yang dibenamkan lagi sejak saat itu.[40] Rencana untuk membenamkan beberapa kapal Tiongkok bersama dengan puluhan kapal-kapal asing lain pada hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2016, dibatalkan pada detik-detik terakhir.[41]
Selain itu, keengganan Indonesia untuk membangkitkan kemarahan Tiongkok dalam bidang penegakan hukum telah ditunjukkan oleh Indonesia yang menahan diri dalam forum-forum diplomasi multilateral.
ABSENNYA INDONESIA DALAM DIPLOMASI MULTILATERAL
Penekanan Jokowi pada pencapaian hasil-hasil ekonomi dalam negeri yang konkrit dan sikap skeptisnya terkait diplomasi melalui konferensi tingkat tinggi multilateral telah menyebabkan peran diplomasi Indonesia kurang aktif dibandingkan peran diplomasi di bawah pemerintahan Yudhoyono, termasuk dalam cara-cara yang telah menguntungkan Beijing. Perubahan ini paling terlihat di dalam ASEAN, yang telah bergantung pada kepemimpinan Indonesia dalam upaya memajukan norma-norma regional dan membentuk konsensus tentang norma-norma itu di konferensi-konferensinya. Akan tetapi, di bawah kepemimpinan Jokowi, ASEAN telah berubah dari “landasan utama” (“the cornerstone”) kebijakan luar negeri Indonesia menjadi “sebuah batu landasan saja” (“a cornerstone”), menurut kata mantan penasihat utamanya di bidang luar negeri, Rizal Sukma.[42] Pendekatan Indonesia terhadap dua krisis setelah pertemuan-pertemuan ASEAN, satu pada tahun 2012 di bawah kepemimpinan Yudhoyono dan satu pada tahun 2016 di bawah kepemimpinan Jokowi, menggambarkan perbedaannya.
Pada tahun 2012, untuk pertama kalinya dalam sejarah organisasi ini para menteri luar negeri ASEAN merasa tidak dapat mencapai kesepakatan tentang sebuah pernyataan resmi bersama (communiqué) karena ketua pertemuan tersebut yang berasal dari Kambodia tidak mau menyetujui pernyataan yang mengkritik aksi-aksi Tiongkok di Laut Cina Selatan. Menteri Luar Negeri pada saat itu, Natalegawa, menjalankan shuttle diplomacy selama 72 jam untuk memastikan sebuah pernyataan kompromi dapat diterbitkan tidak lama sesudahnya.[43]
Namun, saat krisis serupa setelah pertemuan tingkat menteri Tiongkok-ASEAN di Yuxi, Tiongkok, pada bulan Juni 2016, tidak ada usaha sebanding dari pihak Indonesia untuk membentuk konsensus di antara para anggota ASEAN.[44] Beberapa hari sebelum pertemuan tersebut, para menteri negara-negara Asia Tenggara telah menyepakati bahwa Singapura, negara koordinator di ASEAN untuk hubungan dengan Tiongkok, akan menyampaikan pernyataan kepada pers di akhir pertemuan tersebut. Walaupun pernyataan itu hanya secara tidak langsung mengkritik tindakan Tiongkok, namun pernyataan itu bagaimanapun juga merupakan indikasi yang jelas dan terpadu mengenai kekhawatiran ASEAN atas perilaku Tiongkok di Laut Cina Selatan, hanya sebulan sebelum pengadilan arbitrase di Den Haag dijadwalkan memberikan putusannya dalam gugatan Filipina kepada Tiongkok atas perilaku tersebut.
Pada saat itu, Tiongkok sungguh-sungguh mencari dukungan internasional atas argumennya bahwa pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi dan perkara tersebut tidak berdasar. Saat para pejabat Tiongkok mengetahui bahwa pernyataan itu akan diberikan, mereka menekan Kambodia, yang telah menerima miliaran dolar dana bantuan dari Tiongkok dalam tahun-tahun belakangan, agar menarik persetujuannya atas pernyataan tersebut. Kambodia melakukan hal itu, sehingga menghilangkan konsensus ASEAN dan mencegah menteri luar negeri Singapura menyampaikan kritiknya di hadapan pers. (Seorang pejabat Malaysia tanpa sengaja membocorkannya beberapa jam kemudian.)
Tidak seperti pada tahun 2012, tidak ada langkah heroik dari penerus Natalegawa untuk jabatan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Walaupun ia telah meminta izin Presiden Joko Widodo untuk memainkan peran serupa seperti yang dimainkan oleh Natalegawa dalam krisis sebelumnya, Presiden menunjukkan keengganan, khawatir bahwa upaya penting dari Indonesia seperti itu akan membangkitkan kemarahan Tiongkok.[45] Beberapa hari kemudian, Singapura berupaya untuk merekonstruksi konsensus yang telah ada beberapa hari sebelumnya, namun tak berhasil.[46] Kasus ini menggambarkan terbatasnya kemampuan negara-negara ASEAN lainnya untuk membentuk konsensus di antara para anggotanya, dan betapa signifikan ketidakhadiran Indonesia dalam upaya-upaya itu.
Sejak pertemuan di Yuxi pada Juni 2016 itu, telah ada indikasi-indikasi lain bahwa Jokowi merasa enggan untuk mengkritik Tiongkok dalam konteks diplomasi regional. Misalnya, sebulan setelahnya, saat Retno menganjurkan tanggapan oleh kementerian luar negeri terkait putusan pengadilan arbitrase dalam kasus Filipina melawan Tiongkok, pada awalnya Jokowi mencoret penyebutan UNCLOS dari pernyataan itu. Baru kemudian setelah ada intervensi dengan presiden oleh Luhut, menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan dan seorang penasihat dekat Jokowi, yang meyakinkan Jokowi bahwa penyebutan kata tersebut tidak akan membuat Tiongkok marah dan sebaiknya dimasukkan.[47]
Retno akhirnya kemudian mendapat persetujuan untuk menjalankan diplomasi yang lebih aktif pada bulan Juli 2016, saat ia memainkan peran penting dalam mendorong rekan-rekannya mencapai pernyataan resmi bersama (communiqué) yang berdasarkan konsensus di Pertemuan Para Menteri Luar Negeri ASEAN atau ASEAN Foreign Ministers’ Meeting di Vientiane, Laos. Upaya itu menyelamatkan muka ASEAN.[48] Namun, pada umumnya selagi Tiongkok meningkatkan aktivitasnya di sekeliling Kepulauan Natuna, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi telah menanggapinya dengan menekankan kapabilitas militernya sambil meninggalkan peran diplomasi utama dalam persengketaan Laut Cina Selatan yang lebih luas yang sudah dijalankan di bawah kepemimpinan Yudhoyono. Di Laut Cina Selatan, Jokowi tampaknya cukup puas bila Indonesia berjalan sendiri.
PUNCAK PERTALIAN TIONGKOK-INDONESIA?
Namun pola keseganan Jakarta akhir-akhir ini kepada Beijing — dalam hal investasi, dalam kampanyenya melawan penangkapan ikan ilegal, dan dalam diplomasi regional — dapat gagal mencapai maksudnya karena kegelisahan yang sudah lama ada, ketegangan antargolongan masyarakat, tantangan-tantangan dalam melaksanakan investasi bidang infrastruktur, atau peningkatan konfrontasi di sekitar Kepulauan Natuna. Peninjauan atas risiko-risiko ini menunjukkan bahwa hubungan kedua negara mungkin telah mencapai titik tertinggi di bawah kepemimpinan Jokowi.
Kegelisahan yang sudah lama ada dan ketegangan antargolongan masyarakat
Para pejabat Indonesia sejak dulu telah melihat peran pihak Beijing di kawasan tersebut dengan kegelisahan mendalam, sejak masa hubungan dekat antara Partai Komunis Tiongkok dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut versi resmi sejarah peristiwa Indonesia, yang diragukan oleh beberapa akademisi namun masih diterima luas di Jakarta, PKI berupaya untuk melakukan kudeta dengan dukungan dari Tiongkok.[49] Hubungan antara Jakarta dan Beijing baru dipulihkan pada tahun 1990, lama setelah sebagian besar negara-negara tetangga Indonesia melakukannya.[50]
Sejarah politik Indonesia juga dipenuhi dengan kegelisahan nasionalistis mengenai kesetiaan komunitas warga Tionghoa. Warga Tionghoa Indonesia selama ini menghadapi kebencian karena kekayaan komunitas ini yang relatif lebih besar dibandingkan komunitas lain di Indonesia dan perlakuan pilih kasih oleh Belanda. Di bawah kepemimpinan Suharto, warga Tionghoa di Indonesia dipaksa untuk berasimilasi dan meninggalkan aspek-aspek budayanya, dan selama beberapa hari sebelum kejatuhannya, kerusuhan-kerusuhan anti-Cina menerpa komunitas-komunitas di banyak tempat di Indonesia. Sejak kembalinya demokrasi, warga Tionghoa Indonesia telah semakin makmur dan banyak yang telah terhubung kembali dengan budaya Tiongkok. Satu bagian yang lebih kecil telah “mengorientasikan diri kembali” kepada daratan Tiongkok, dan membangun hubungan-hubungan bisnis kembali dengan daratan Tiongkok.[51]
Hal-hal ini adalah kegiatan-kegiatan biasa bagi komunitas diaspora yang memiliki pertalian budaya di luar negeri yang seharusnya tidak menimbulkan pertanyaan tentang kesetiaan mereka baik dalam atau pun tentang diri mereka sendiri. Tetapi tetap saja ada sebagian masyarakat Indonesia yang memendam kecurigaan yang berkepanjangan terhadap kesetiaan warga Tionghoa di Indonesia, dan mereka merasa cemas akan pertalian ekonomi komunitas ini dengan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok yang semakin menguat. Menyadari keresahan ini, banyak warga Indonesia penganut paham pluralis — termasuk orang-orang di dalam lingkungan agama dan politik Jokowi — merasa enggan melihat penurunan dalam hubungan kedua negara karena takut bahwa penurunan itu akan merangsang ketegangan antar golongan masyarakat, dan menghancurkan keharmonisan antarsuku bangsa di dalam negeri ini yang telah dicapai dengan susah payah.
Ketegangan-ketegangan yang melingkupi pemilihan gubernur Jakarta pada bulan Februari 2017 membuat semua kekhawatiran ini semakin akut. Gubernur Kristen dari suku Tionghoa provinsi tersebut, Basuki Tjahja Purnama, telah diserang dengan alasan ras dan agama dalam masa persiapan menuju pemilihan, dengan sedikitnya 50.000 orang berunjuk rasa di jalan-jalan pada bulan November 2016 menuntut agar ia ditahan atas tuntutan yang dibuat-buat mengenai penistaan agama.[52] Jika ketegangan-ketegangan sampai tak terkendalikan, atau jika pihak Beijing melakukan intervensi — baik secara retorika atau cara lain — yang memihak warga Tionghoa di Indonesia dengan cara yang menyebabkan masyarakat Indonesia mempercayai adanya pelanggaran norma-norma kedaulatan, akan semakin sulit bagi Jokowi untuk bekerja sama dengan Tiongkok atau untuk turut mempertimbangkan kepentingan Tiongkok. Intervensi semacam ini bukannya tidak masuk akal. Pada bulan September 2015, komentar-komentar duta besar Tiongkok untuk Kuala Lumpur mengenai perlakuan Malaysia terhadap etnis Tionghoa di Malaysia di tengah-tengah ketegangan serupa memicu badai kritik.[53]
Tantangan-tantangan terkait investasi dari Tiongkok
Meningkatnya investasi-investasi penting Tiongkok menghadirkan risiko pada hubungan Tiongkok-Indonesia dalam dua cara. Pertama, banyak warga Indonesia yang merasa curiga pada umumnya terhadap pendatangan tenaga kerja asing, dan pada khususnya terhadap tenaga kerja dari Tiongkok. Ada rasa takut bahwa pekerja Tiongkok akan membanjiri Indonesia jika Indonesia menerima investasi dari Tiongkok, walaupun kenyataannya jumlah pekerja Tiongkok saat ini cukup sedikit.[54] (Para pejabat Tiongkok mengklaim bahwa penggunaan tenaga kerja Tiongkok yang tidak terampil tidaklah ekonomis, karena mendatangkan tenaga kerja Tiongkok akan lebih mahal.)[55]
Namun, segi politik dari isu ini mungkin membuat investasi Tiongkok menjadi kurang menarik bagi Jokowi. Pada bulan Agustus 2015, selagi kompetisi untuk proyek kereta Jakarta-Bandung berkecepatan tinggi semakin seru, majalah berita Indonesia terkemuka, Tempo, mempublikasikan berita utama yang mengkritik penggunaan tenaga kerja Tiongkok. Berlatar belakang merah yang serasa mengancam, Tempo menggambarkan Jokowi sebagai tenaga kerja Tiongkok, di samping teks “Selamat datang, Buruh Cina”.[56]
Kedua, proyek-proyek infrastruktur Tiongkok di Indonesia telah memperoleh reputasi kualitas rendah dan penyelesaian yang terlambat. Banyak pejabat Indonesia yang mengerjakan investasi-investasi Tiongkok di pemerintahan Yudhoyono menyebut contoh pembangkit listrik Celukan Bawang di Bali, yang bertahun-tahun telat diselesaikan dan hanya memiliki sebagian saja kapasitas yang dijanjikan.[57]
Keputusan Jokowi untuk memberikan proyek kereta cepat kepada konsortium Tiongkok-Indonesia merupakan kesempatan bagi para investor Tiongkok untuk menunjukkan bahwa mereka dapat menyelesaikan proyek tepat waktu, sesuai anggaran, dengan kualitas tinggi, dan dengan sedikit, jika ada, buruh Tiongkok. Jika proyek tersebut berhasil, Indonesia akan cenderung semakin berpaling pada Tiongkok untuk mendapat bantuan dalam investasi bidang infrastruktur. Namun, bila Tiongkok menyinggung sensitivitas masyarakat Indonesia, maka proyek ini dapat membuat Jokowi dan para menterinya kapok dengan investasi Tiongkok selanjutnya. Demikian pula, para investor Tiongkok mungkin belajar bahwa tantangan-tantangan regulasi dan pengaturan yang cenderung menjauhkan para investor sektor swasta dari proyek-proyek besar di Indonesia lebih banyak merepotkan daripada memberi hasil bagi penambahan investasi, dan mungkin lama kelamaan menarik diri.
Eskalasi di sekitar Kepulauan Natuna
Walaupun ada masa-masa tegang di Natuna Besar selama konfrontasi di bulan Maret 2016 antara kapal-kapal penegak hukum Indonesia dan Tiongkok, Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi belum berupaya untuk memberi pihak Beijing sanksi dengan menciptakan halangan-halangan berinvestasi, meledakkan kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok yang tertangkap, atau mengambil sikap yang lebih tegas dalam diplomasi regional. Setelah insiden ini, perilaku Kapal Pengawas Pantai Tiongkok di sekitar Kepulauan Natuna telah menjadi cukup terkendali. Dalam dua insiden sesudahnya, kapal-kapal pengawas pantai Tiongkok tidak berusaha untuk mengintervensi atau mencegah penahanan para nelayan Tiongkok oleh Indonesia. Sejak itu, Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti telah memberi tahu para reporter bahwa kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok tidak lagi terlihat di perairan dekat Kepulauan Natuna.
Namun seperti yang dicatat tadi, keberadaan para nelayan Tiongkok di sekitar Kepulauan Natuna nampaknya bersifat musiman. Berdasarkan pola-pola sebelumnya, mereka bisa saja kembali antara bulan Maret dan Juli 2017. Jika mereka kembali, dan ada insiden antara kapal AL atau kapal penegak hukum Indonesia dengan Kapal Pengawas Pantai Tiongkok yang meningkat hingga pada tingkat yang menyebabkan korban jiwa dari pihak Indonesia, maka mungkin akan sulit bagi Jokowi untuk menekan sentimen anti Tiongkok, dan situasi itu akan memerlukan respon yang melebihi pengiriman tentara dan alutsista ke Ranai.
Jika hubungan Tiongkok-Indonesia memang memburuk, mungkin sekali tidak akan sejauh itu. Ketidakberpihakan dan preferensi Indonesia sejak dulu untuk mempertahankan “keseimbangan dinamis” akan menjadi daya penarik ke arah keseimbangan kebijakan Indonesia, dan menjaga agar Indonesia tidak mengadopsi posisi yang terlalu anti Tiongkok.
KESIMPULAN
Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi dapat diperkirakan terus menjalankan aksi unilateral untuk memperkuat posisi Indonesia di Kepulauan Natuna, baik melalui pengiriman tenaga militer dan peningkatan kegiatan ekonomi yang diarahkan negara. Namun, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi belum menjalankan peran kepemimpinan yang efektif di dalam ASEAN terkait isu lebih luas mengenai Laut Cina Selatan karena tiga alasan.
Pertama, sikap Indonesia yang tidak memihak telah lama membuat Indonesia pada dasarnya bersikap skeptis mengenai keberpihakan pada satu sisi atau sebaliknya dalam ketegangan di antara negara-negara adikuas. Kedua, Jokowi sendiri merasa skeptis akan manfaat konsep-konsep abstrak yang diperjuangkan dan summit diplomacy (diplomasi melalui pertemuan tingkat tinggi) yang diperlukan untuk melindungi konsep-konsep itu. Ketiga, Jokowi ingin mempertahankan hubungan yang baik dengan Tiongkok untuk memastikan bahwa upaya-upaya untuk memikat investasi Tiongkok yang lebih besar untuk proyek-proyek infrastrukturnya terlindungi. Namun, jika sikap-sikap terhadap investasi Tiongkok berubah seiring berjalannya waktu akibat kinerja buruk, atau jika konfrontasi di sekitar Kepulauan Natuna meningkat, atau ketegangan antargolongan masyarakat memanas, situasi itu dapat melemahkan minat Jokowi untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan Tiongkok.
Keengganan Jokowi untuk menyetujui agar Indonesia mengambil peran sebagai pemimpin yang lebih tegas terkait isu ini dapat mengacaukan keamanan Indonesia. Indonesia memiliki kepentingan jangka panjang pada ASEAN yang kuat, pada ketertiban yang berdasarkan aturan yang mengekang prerogatif negara-negara adikuasa di kawasan ini, dan pada perdamaian dan kestabilan yang ditopang oleh keduanya. Kepemimpinan Indonesia di dalam ASEAN akan memberi perlindungan kepada negara-negara ASEAN yang lebih kecil untuk mengambil sikap melawan agresi Tiongkok, sehingga aksi bersama negara-negara ASEAN semakin mudah.
Akan tetapi, tanpa kepemimpinan Indonesia yang kuat, ASEAN akan terus mengalami kesulitan mencapai konsensus terkait isu ini, dan Tiongkok akan terus mengambil keuntungan dari perpecahan ASEAN untuk terus mengejar ambisinya di Laut Cina Selatan, dengan konsekuensi diplomasi yang kecil saja. Konsensus ASEAN bukanlah obat mujarab untuk tantangan-tantangan di Laut Cina Selatan; namun, tidak adanya konsensus membuat pengelolaan tantangan-tantangan itu semakin sulit. Keengganan Indonesia untuk memimpin ASEAN juga melemahkan kepentingan Indonesia dalam mengurangi ketegangan regional dan mencegah Asia Tenggara menjadi tempat kompetisi antara kekuatan-kekuatan besar dunia, karena tanpa ASEAN yang kuat dan bersatu, Amerika Serikat merasa terdorong untuk lebih menjalankan peran pemimpin untuk menolak balik tindakan-tindakan Tiongkok di Laut Cina Selatan.
Pendekatan unilateral Jokowi mungkin telah menstabilkan situasi di sekitar Kepulauan Natuna saat ini. Namun, nantinya Indonesia akan mendapati bahwa usaha-usaha unilateral apa pun untuk menopang posisinya di Kepulauan Natuna akan dikalahkan oleh kapasitas militer dan komersial Tiongkok yang lebih besar daripada kapasitas Indonesia, dan yang sekarang berada jauh lebih dekat dengan perairan Indonesia daripada sebelumnya. Untuk keuntungan jangka panjang, Indonesia akan lebih baik memberikan lebih banyak perhatian kepada kepemimpinannya dalam bidang diplomasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada Engaging Asia Project di Lowy Institute yang dibentuk dengan bantuan keuangan dari Pemerintah Australia dan yang mendanai penelitian ini, kepada Brittany Betteridge dan Angela Han untuk bantuan penelitiannya, dan kepada para pembaca anonim untuk komentar-komentar mereka yang berguna pada draf-draf sebelumnya.
CATATAN
[1] Associated Press, “Indonesia Detains Chinese Fishing Boat and Crew for Illegal Fishing [Indonesia Menahan Kapal dan Awak Kapal Penangkap Ikan Tiongkok karena Menangkap Ikan secara Ilegal]”, South China Morning Post, 18 Juni 2016, http://www.scmp.com/news/china/policies-politics/article/1977143/indonesia-detains-chinese-fishing-boat-and-crew-illegal.
[2] Foreign Ministry Spokesperson Hua Chunying’s Remarks on Indonesian Navy Vessels Harassing and Shooting Chinese Fishing Boats and Fishermen [Komentar-komentar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying tentang Kapal-kapal Angkatan Laut Indonesia yang Mengganggu dan Menembaki Kapal-kapal Penangkap Ikan dan Nelayan Tiongkok], 19 Juni 2016, http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/xwfw_665399/s2510_665401/t1373402.shtml.
[3] Francis Chan dan Wahyudi Soeriaatmadja, “Indonesia Defends Navy for Firing Warning Shots at Chinese Poachers in South China Sea [Indonesia Membela Angkatan Laut atas Dilepaskannya Tembakan Peringatan pada Pemburu Gelap Tiongkok di Laut Cina Selatan]”, The Straits Times, 20 Juni 2016, http://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesia-defends-navy-for-firing-warning-shots-at-chinese-poachers-in-south-china-sea.
[4] Rapat tersebut secara resmi dianggap rapat Kabinet terbatas: Wahyudi Soeriaatmadja, “Indonesian President Joko Widodo’s Trip to South China Sea Islands a Message to Beijing, Says Minister [Kunjungan Presiden Indonesia Joko Widodo ke Kepulauan Laut Cina Selatan Merupakan Pesan kepada Beijing, Kata Menteri]”, The Straits Times, 23 Juni 2016, http://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesian-president-sails-to-south-china-sea-islands-in-message-to-beijing.
[5] Lihat, misalnya, Alan Dupont, “Lessons in Indonesia’s Pushback to Sino Aggression [Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Langkah Indonesia Menolak Balik Agresi Tiongkok]”, The Australian, 28 Juni 2016, http://www.theaustralian.com.au/opinion/lessons-in-indonesias-pushback-approach-to-sino-aggression/news-story/5bd02838bff8c64ef73100143e72ec8d; “Annoyed in Natuna [Kesal di Natuna]”, The Economist, 2 Juli 2016, http://www.economist.com/news/asia/21701527-china-turns-would-be-peacemaker-yet-another-rival-annoyed-natuna.
[6] Salah satu survei tentang sejarah dan geografi garis putus-putus yang paling ekstensif dapat ditemukan di “Limits in the Seas No 143 — China: Maritime Claims in the South China Sea [Batas-batas di Laut No 143 — Tiongkok: Klaim-klaim Maritim di Laut Cina Selatan]”, Office of Ocean and Polar Affairs, Bureau of Oceans and International Environmental and Scientific Affairs, US Department of State [Kantor Urusan Laut dan Kutub, Biro Kelautan dan Urusan Lingkungan dan Sains Internasional, Departemen Luar Negeri AS], 5 Desember 2014, http://www.state.gov/documents/organization/234936.pdf. Walaupun garis tersebut telah dikenal sebagai sembilan garis putus-putus (nine-dashed line), jumlah garis putus-putus itu tidaklah konsisten pada peta-peta Tiongkok, yang paling sedikit delapan dan paling banyak sepuluh. Oleh karenanya, analisis ini menyebut garis tersebut sebagai ‘garis putus-putus’ (‘dashed line’). Lihat Euan Graham, “China’s New Map: Just Another Dash? [Peta Cina yang Baru: Hanya Satu Garis Lagi?]”, The Strategist, Australian Strategic Policy Institute [Institut Kebijakan Strategis Australia], 17 September 2013, http://www.aspistrategist.org.au/chinas-new-map-just-another-dash/.
[7] Ladang Gas Natuna Timur terbukti mengandung 26 trilliun kaki kubik cadangan gas alam, sebuah deposit besar, namun kandungannya dianggap mahal untuk digali karena kandungan karbon dioksidanya yang tinggi. Pemerintah Indonesia telah memperkirakan bahwa ekstraksi hanya akan menguntungkan bila harga minyak naik hingga di atas $100/barel, sehingga kandungan gas itu menjadi kurang diinginkan. Lihat Raras Cahyafitri, “East Natuna Development Faces Possible Negotiation Delay [Pengembangan Natuna Timur Menghadapi Kemungkinan Penundaan Negosiasi]”, The Jakarta Post, 27 November 2015, http://www.thejakartapost.com/news/2015/11/27/east-natuna-development-faces-possible-negotiation-delay.html.
[8] Marina Tsirbas, “What Does the Nine-Dash Line Actually Mean? [Apa Sesungguhnya Arti Sembilan Garis Putus-Putus Itu?]”, The Diplomat, 2 Juni 2016, http://thediplomat.com/2016/06/what-does-the-nine-dash-line-actually-mean/.
[9] Douglas Johnson, “Drawn into the Fray: Indonesia’s Natuna Islands Meet China’s Long Gaze South [Terseret ke dalam Percekcokan: Kepulauan Natuna di Indonesia bertemu Pandangan Jauh Cina ke Selatan]”, Asian Affairs 42, No 3 (1994), 154–155.
[10] Indonesia, Note Verbale, No 480/POL-703/VII/10, New York, 8 Juli 2010, paragraf 4, http://www.un.org/depts/los/clcs_new/submissions_files/mysvnm33_09/idn_2010re_mys_vnm_e.pdf.
[11] Klaus Heinrich Raditio, “Indonesia ‘Speaks Chinese’ in South China Sea [Indonesia ‘Bicara Bahasa Cina’ di Laut Cina Selatan]”, The Jakarta Post, 18 Juli 2016, http://www.thejakartapost.com/academia/2016/07/18/indonesia-speaks-chinese-in-south-china-sea.html.
[12] Mengenai lokakarya-lokakarya tersebut, lihat Hasjim Djalal, Preventative Diplomacy in Southeast Asia: Lessons Learned [Diplomasi Preventatif di Asia Tenggara: Pelajaran yang Dipetik] (Jakarta: Habibie Center, 2003).
[13] Lokakarya-lokakarya tersebut memang memfasilitasi pengembangan prinsip-prinsip yang kemudian diajukan sebagai Deklarasi tentang Tindakan Pihak-Pihak di Laut Cina Selatan atau Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea, yang menurut beberapa pendapat telah berguna dalam fungsi pengelolaan ketegangan di persengketaan itu. Sikap skeptis mengenai peran Indonesia sebagai ‘perantara yang tidak memihak’ sebaiknya tidak ditafsirkan sebagai kritik atas usaha atau kecakapan Indonesia dalam negosiasi-negosiasi ini; di bawah kepemimpinan Ali Alatas, Hasjim Djalal, Marty Natalegawa dan lain-lain usaha dan kecakapan itu dilakukan dengan gigih, sabar dan kreatif. Sebaliknya, hal itu merupakan akibat upaya-upaya Cina untuk menghambat kemajuan di banyak bidang. Lihat Bill Hayton, The South China Sea: The Struggle for Power in Asia [Laut Cina Selatan: Perebutan Kekuasaan di Asia] (New Haven: Yale, 2014), 256–259.
[14] Untuk insiden tahun 2010, lihat “Territorial Disputes in South China Sea on the Increase as China Flexes Muscles [Sengketa Teritori di Laut Cina Selatan Meningkat Selagi Cina Pamer Kekuatan]”, Mainichi Shimbun, 2 Agustus 2010, http://web.archive.org/web/20100806005509/http://mdn.mainichi.jp/mdnnews/international/news/20100802p2a00m0na021000c.html. Untuk insiden tahun 2013: lihat Scott Bentley, “Mapping the Nine-Dash Line: Recent Incidents Involving Indonesia in the South China Sea [Memetakan Sembilan Garis Putus: Insiden-insiden Terbaru yang Melibatkan Indonesia di Laut Cina Selatan]”, The Strategist, Australian Strategic Policy Institute [Institut Kebijakan Strategis Australia], 29 Oktober 2013, http://www.aspistrategist.org.au/mapping-the-nine-dash-line-recent-incidents-involving-indonesia-in-the-south-china-sea/. Mungkin ada insiden-insiden lanjutan; insiden pada tahun 2013 baru diketahui karena kapten kapal Indonesia menuliskan konfrontasi itu pada blog militer yang diakses oleh Bentley. Jakarta telah berupaya untuk merahasiakan insiden-insiden semacam itu supaya jangan merusak persepsi bahwa Indonesia adalah pihak netral di dalam persengketaan yang lebih luas mengenai Laut Cina Selatan, seperti yang dikatakan oleh Ristian Atriandi Supriyanto: lihat “Indonesia’s South China Sea Dilemma: Between Neutrality and Self-Interest [Dilema Indonesia tentang Laut Cina Selatan: Antara Netralitas dan Kepentingan Sendiri]”, RSIS Commentaries No 126/2012, S. Rajaratnam School of International Studies [Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam], https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/2014/07/CO12126.pdf.
[15] Ristian A Supriyanto, Shahriman Lockman dan Koh Swee Lean Collin, “China’s Rift with Indonesia in the Natunas: Harbinger of Worse to Come? [Kerenggangan Hubungan Cina dengan Indonesia di Natuna: Pertanda Buruk?]”, The Diplomat, 25 Maret 2016, http://thediplomat.com/2016/03/chinas-rift-with-indonesia-in-the-natunas-harbinger-of-worse-to-come/. Untuk urutan waktu insiden tersebut, lihat Fiki Ariyanti, “Kronologi Kapal Maling Ikan Asal Tiongkok Dilumpuhkan di Natuna”, Liputan 6, http://bisnis.liputan6.com/read/2463504/kronologi-kapal-maling-ikan-asal-tiongkok-dilumpuhkan-di-natuna.
[16] Chris Brummitt, “Frantic Phone Call Failed to Halt China-Indonesia Sea Spat [Panggilan Telepon Panik Gagal Hentikan Sengketa Laut Tiongkok-Indonesia]”, Bloomberg, 23 Maret 2016, http://www.bloomberg.com/news/articles/2016-03-22/frantic-phone-call-failed-to-contain-china-indonesia-sea-spat. Wawancara dengan para petinggi Indonesia, April 2016.
[17] Chris Brummitt, “Indonesia Will Defend South China Sea Territory with F-16 Fighter Jets [Indonesia Akan Mempertahankan Teritori Laut Cina Selatan dengan Pesawat Jet Tempur F-16]”, Bloomberg, 1 April 2016, http://www.bloomberg.com/news/articles/2016-03-31/indonesia-to-deploy-f-16s-to-guard-its-south-china-sea-territory.
[18] Brummitt, “Frantic Phone Call Failed to Halt China-Indonesia Sea Spat [Panggilan Telepon Panik Gagal Hentikan Sengketa Laut Tiongkok-Indonesia]”.
[19] “Menkopolhukam Ingin Tingkatkan Kekuatan TNI AL di Natuna ”, Antara, 22 Maret 2016, http://www.antaranews.com/berita/551439/menkopolhukam-ingin-tingkatkan-kekuatan-tni-al-di-natuna.
[20] Yohannes Paskalis, “Luhut: Indonesia, China to Step Up Security Partnership [Luhut: Indonesia, Tiongkok Akan Tingkatkan Kerja Sama Keamanan]”, Tempo, 29 April 2016, http://en.tempo.co/read/news/2016/04/29/055767157/Luhut-Indonesia-China-to-Step-Up-Strategic-Security-Partnership.
[21] Menurut Pasal 111 Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UN Convention on the Law of the Sea), negara-negara di pesisir dapat mengejar dan menahan kapal-kapal di laut lepas bila mereka ‘sedang mengejar’ (‘hot pursuit’) kapal tersebut karena tindakan yang dilakukan kapal tersebut di perairan teritorial atau zona eksklusif ekonominya.
[22] Abba Gabrillin, “Koarmabar Sergap Kapal Nelayan China di Perairan Natuna”, 28 Mei 2016, Kompas, http://nasional.kompas.com/read/2016/05/28/20234741/koarmabar.sergap.kapal.nelayan.china.di.perairan.natuna.
[23] Fadli, “Jokowi to Strengthen Border Areas [Jokowi Akan Perkuat Area-Area Batas Negara]”, The Jakarta Post, 7 Oktober 2016, http://www.thejakartapost.com/news/2016/10/07/jokowi-strengthen-border-areas.html.
[24] Nick Wadhams dan Bill Faries, “Blowing Up Boats Sets Indonesia’s Scarce Fish Swimming Again [Meledakkan Kapal Membuat Ikan-Ikan Langka Indonesia Berenang Lagi]”, Bloomberg, 19 September 2016, http://www.bloomberg.com/news/articles/2016-09-18/blowing-up-boats-sets-indonesia-s-scarce-fish-swimming-again.
[25] Vida Macikenaite, “The Implications of China’s Fisheries Industry Regulation and Development for the South China Sea Dispute [Implikasi Regulasi dan Pengembangan Industri Perikanan Tiongkok pada Sengketa Laut Cina Selatan]”, dalam The Quandaries of China’s Domestic and Foreign Development [Dilema Perkembangan Domestik dan Luar Negeri Tiongkok] Dominik Mierzejewski ed (Wydawnictwo Uniwersytetu Łódzkiego, 2014), http://dspace.uni.lodz.pl:8080/xmlui/bitstream/handle/11089/11270/15.216_236_macikenaite.pdf.
[26] Marty Natalegawa, “Annual Press Statement of the Foreign Minister of the Republic of Indonesia [Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia]”, Jakarta, 7 Januari 2011, http://indonesia.gr/speech-of-the-minister-of-foreign-affairsannual-press-statement-of-the-foreign-minister-of-the-republic-of-indonesia-dr-r-m-marty-m-natalegawa/.
[27] Wawandara dengan petinggi Indonesia, Sydney, November 2016.
[28] Susilo Bambang Yudhoyono, “Inaugural Address [Pidato Pelantikan]”, Jakarta, 20 Oktober 2009, http://jakartaglobe.id/archive/sbys-inaugural-speech-the-text/. Pemakaian kata-kata Yudhoyono bervariasi antara “a thousand friends and zero enemies” (seribu teman dan nol musuh) dan “a million friends and zero enemies” (sejuta teman dan nol musuh). Untuk diskusi lebih lanjut tentang politik dan cara pandang Jokowi terhadap dunia, lihat Aaron L Connelly, “Sovereignty and the Sea: President Joko Widodo’s Foreign Policy Challenges [Kedaulatan dan Laut: Tantangan-tantangan bagi Kebijakan Luar Negeri Joko Widodo]”, Contemporary Southeast Asia 37, No 1 (April 2015), 1–28.
[29] Untuk contoh-contoh kritik semacam ini, lihat Tri Wahono, “Politik Pencitraan SBY Gagal”, Kompas, 24 April 2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/04/24/15412766/Politik.Pencitraan.SBY.Gagal; and “SBY’s Foreign Policies ‘Failing his People’ [Kebijakan Luar Negeri SBY ‘Mengecewakan Rakyatnya’]”, The Jakarta Post, 13 Oktober 2014, http://www.thejakartapost.com/news/2014/10/13/sby-s-foreign-policies-failing-his-people.html. Yudhoyono akhirnya memerintahkan eksekusi beberapa orang yang dijatuhi hukuman mati tersebut pada tahun 2013, setelah ada kritik bahwa tidak ada eksekusi selama lima tahun sebelumnya.
[30] Contohnya, Jokowi meninggalkan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Langkawi, Malaysia, lebih awal pada bulan April 2015, dan hanya setuju dengan rasa enggan untuk menghadiri G20 di Brisbane pada bulan November 2014, KTT APEC (APEC Summit) di Manila pada bulan November 2015, dan KTT Khusus AS-ASEAN (Special US–ASEAN Summit) di Sunnylands pada Februari 2016. (Untuk KTT ASEAN, lihat Tama Salim dan Ina Parlina, “Jokowi to Skip APEC Summit [Jokowi Melewatkan KTT APEC]”, The Jakarta Post, 12 November 2015, http://www.thejakartapost.com/news/2015/11/12/jokowi-skip-apec-summit.html; Informasi terkait Pertemuan G20 didasarkan pada wawancara dengan para diplomat Indonesia, Sydney, Oktober 2014; informasi terkait Sunnylands didasarkan pada wawancara dengan tokoh bisnis, Washington, Desember 2015.) Walau Jokowi tidak tertarik pada konferensi-konferensi tingkat tinggi, ia memang ingin agar Indonesia dipandang sebagai negara penting dengan kursi di meja-meja besar, seperti yang telah diamati Greg Fealy dan Hugh White (lihat “Indonesia’s ‘Great Power’ Aspirations: A Critical View [Aspirasi ‘Adikuasa’ Indonesia: Sebuah Pandangan Kritis]”, Asia & the Pacific Policy Studies 3, No 1 (2016), 92–100). Contohnya, seperti yang diamati Fealy dan White, pada KTT APEC di Beijing pada bulan November 2014, Jokowi bersikeras agar ia duduk di dekat Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden AS Barack Obama, dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada saat makan malam, daripada tempat duduknya yang sudah ditentukan di pinggir. Indonesia juga telah mengajukan tawaran untuk dapat duduk satu periode di Dewan Keamanan PBB di bawah kepemimpinan Jokowi: “Indonesia Eyes Seat on the UN Security Council [Indonesia Mengincar Kursi Dewan Keamanan PBB]”, The Jakarta Post, 30 September 2015, http://www.thejakartapost.com/news/2015/09/30/indonesia-eyes-seat-un-security-council.html. Namun, walaupun langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Jokowi ingin agar Indonesia dihormati oleh negara-negara lain, langkah-langkah tersebut sebaiknya tidak dilihat sebagai indikasi bahwa Jokowi peduli pada substansi dari pertemuan-pertemuan puncak tersebut, atau konsep-konsep abstrak yang didiskusikan di dalam pertemuan-pertemuan itu seperti bentuk arsitektur regional atau hukum internasional.
[31] Darmansjah Djumala, “Ketika Diplomasi Membumi”, Kompas, 15 November 2015, http://internasional.kompas.com/read/2014/11/15/05320031/Ketika.Diplomasi.Membumi.
[32] Bappenas, “Medium Term Development Plan [Rencana Pembangunan Jangka Menengah]: RPJMN 2015–2019”, 9 Maret 2015.
[33] 2015 Indonesia Investment Climate Statement [Pernyataan mengenai Iklim Investasi Indonesia 2015], US Department of State [Departemen Luar Negeri AS], http://www.state.gov/documents/organization/241809.pdf.
[34] Wawancara-wawancara dengan para penasihat Jokowi, Jakarta, Januari dan April 2016.
[35] Chris Brummitt, “Desperate for Investment, Indonesia Plays China vs Japan [Benar-benar Butuh Investasi: Indonesia Mengadu Tiongkok dengan Jepang]”, Bloomberg, 20 Mei 2015, http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-05-19/desperate-for-investment-indonesia-plays-china-vs-japan.
[36] Walaupun tawaran Tiongkok tidak memerlukan jaminan dalam anggaran Indonesia, Pemerintah Indonesia pada akhirnya akan bertanggung jawab jika proyek tersebut gagal, karena perusahaan-perusahaan Indonesia yang terlibat di dalam konsortium tersebut semuanya badan-badan usaha milik negara. Tampaknya keinginan Jokowi adalah agar proyek tersebut tidak dimasukkan dalam buku besar anggaran, yang akan menambah defisit anggaran, yang menurut undang-undang Indonesia harus tetap berada di bawah 3 persen. Untuk keterangan lebih lanjut pada proyek kereta cepat, lihat Wilmar Salim dan Siwage Dharma Negara, “Why is the High-Speed Rail Project so Important to Indonesia? [Mengapa Proyek Kereta Api Cepat Sangat Penting untuk Indonesia?]”, ISEAS Perspective, Issue 2016, No 16 (7 April 2016), https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2016_16.pdf.
[37] Saiful Mujani Research and Consulting, “Kinerja Presiden Jokowi: Evaluasi Publik Nasional Setahun Terpilih Menjadi Presiden”, slide halaman 19–20, 9 Juli 2015, http://www.slideshare.net/saidimanahmad/print-setahun-jokowi-rev.
[38] Wawancara dengan para pejabat Indonesia, Jakarta, Maret, 2015. Untuk keterangan lebih lanjut tentang kapal yang dimaksud, lihat Tama Salim, “Susi Continues Legal Fight against Hai Fa [Susi Teruskan Pertarungan Hukum melawan Hai Fa]”, The Jakarta Post, 15 Juni 2015, http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/20/susi-continues-legal-fight-against-hai-fa.html. Kapal tersebut disita, namun lima bulan kemudian pergi tanpa otorisasi dan berlayar kembali ke Tiongkok. Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti juga telah mempertanyakan tentang kesediaan Angkatan Laut untuk berpartisipasi dalam penegakan hukum perikanan, dengan menegur Angkatan Laut di depan umum karena gagal menangkap kapal-kapal Tiongkok dan secara pribadi memberi tahu kolega-koleganya bahwa ia meyakini bahwa para pejabat Angkatan Laut telah menerima suap dari pihak-pihak perikanan yang di Tiongkok agar kapal-kapal mereka diizinkan untuk memancing secara ilegal di perairan Indonesia: lihat Nani Afrida, “Susi Torpedoes Navy over Chinese Vessel [Susi Menorpedo Angkatan Laut Soal Kapal Tiongkok]”, The Jakarta Post, 26 Februari 2016, http://www.thejakartapost.com/news/2015/02/26/susi-torpedoes-navy-over-chinese-vessel.html; Wawancara dengan para pejabat Indonesia, Maret 2015.
39 Tama Salim, “RI Flexes Muscle, Sinks Chinese Boat, A Big One [RI Pamer Otot, Tenggelamkan Kapal Tiongkok yang Besar]”, The Jakarta Post, 20 Mei 2015, http://www.thejakartapost.com/news/2015/05/20/ri-flexes-muscle-sinks-chinese-boat-a-big-one.html.
[40] Trefor Moss, “Indonesia Blows Up 23 Foreign Fishing Boats to Send a Message [Indonesia Ledakkan 23 Kapal Nelayan Asing untuk Berikan Isyarat]”, Wall Street Journal, 5 April 2016, http://www.wsj.com/articles/indonesia-blows-up-23-foreign-fishing-boats-to-send-a-message-1459852007.
[41] Wawancara dengan para diplomat Indonesia, Sydney, Agustus 2016.
[42] Prashanth Parameswaran, “Is Indonesia Turning Away from ASEAN Under Jokowi? [Apakah Indonesia Menjauh dari ASEAN di Bawah Jokowi?]”, The Diplomat, 18 Desember 2014, http://thediplomat.com/2014/12/is-indonesia-turning-away-from-asean-under-jokowi/.
[43] Donald K Emmerson, “Beyond the Six Points: How Far will Indonesia Go? [Setelah Enam Poin: Sejauh Mana Indonesia Akan Pergi?]”, East Asia Forum, 29 Juli 2012, http://www.eastasiaforum.org/2012/07/29/beyond-the-six-points-how-far-will-indonesia-go/.
[44] Wawancara dengan para diplomat Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Australia, Sydney dan Canberra, Juni 2015. Pada konferensi tingkat tinggi berikutnya, Indonesia memang menunjukkan kepemimpinannya pada isu tersebut, ketika Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengadakan rapat sampingan “sebagai langkah beritikad baik untuk mengingatkan semua anggota akan norma dan nilai ASEAN”. Lihat Ben Otto, “ASEAN Looks for Wiggle Room to Skirt South China Sea Impasse [ASEAN Cari Celah untuk Hindari Kebuntuan tentang Laut Cina Selatan]”, Wall Street Journal, 24 Juli 2016, http://www.wsj.com/articles/asean-looks-for-wiggle-room-to-skirt-south-china-sea-impasse-1469342955.
[45] Wawancara, pejabat Indonesia, Jakarta, Juli 2016.
[46] Wawancara dengan para diplomat Singapura, Agustus 2016.
[47] Wawancara dengan para pejabat Indonesia, Juli 2016.
[48] Tama Salim, “Indonesia’s Tactful Diplomacy Key to Uniting ASEAN [Diplomasi Hati-hati Indonesia Kunci untuk Satukan ASEAN]”, The Jakarta Post, 27 Juli 2016, http://www.thejakartapost.com/news/2016/07/27/indonesia-s-tactful-diplomacy-key-uniting-asean.html.
[49] John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup D’Etat in Indonesia [Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto di Indonesia] (Madison, Wisconsin: University of Wisconsin Press, 2006).
[50] Rizal Sukma, Indonesia and China: The Politics of a Troubled Relationship [Indonesia dan Tiongkok: Politik Hubungan yang Bermasalah] (London: Routledge, 1999).
[51] Setijadi, “Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia [Etnis Tionghoa di Indonesia Masa Kini]”.
[52] Jewel Topsfield, “Violence in Jakarta as Muslims Protest, Demand Christian Governor Ahok be Jailed [Kekerasan di Jakarta ketika Kaum Muslim Protes, Menuntut Gubernur Kristen Ahok Dipenjarakan]”, Sydney Morning Herald, 5 November 2016, http://www.smh.com.au/world/jakarta-protest-thousands-of-muslims-gather-to-demand-jailing-of-christian-governor-ahok-20161104-gsifnm.html.
[53] Prashanth Parameswaran, “The Truth About China’s ‘Interference’ in Malaysia’s Politics [Kebenaran tentang ‘Campur Tangan’ Tiongkok dalam Politik Malaysia]”, The Diplomat, 2 Oktober 2015, http://thediplomat.com/2015/10/the-truth-about-chinas-interference-in-malaysias-politics/.
[54] Walaupun ada desas-desus bahwa ada lebih dari 10 juta buruh Tiongkok di Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan hanya ada 14.000 hingga 16.000 buruh dalam suatu jangka setahun: “Illegal Foreign Workers, Rule Breakers Face Immediate Deportation: Manpower Minister [Buruh Asing Ilegal, Pelanggar Aturan Hadapi Deportasi Langsung: Menteri Tenaga Kerja]”, Kementerian Ketenagakerjaan, 26 Juli 2016, http://www.thejakartapost.com/longform/2016/07/26/illegal-foreign-workers-rule-breakers-face-immediate-deportation-manpower-minister.html. Para imigran Tiongkok yang tak terdokumentasi juga bukanlah masalah besar: hanya lima contoh buruh Tiongkok tanpa dokumen yang telah muncul di pers Indonesia sejak 2011, di dua pabrik di Banten, di pabrik peleburan bauksit di Kalimantan Barat, di pabrik pembangkit tenaga listrik di Bali, dan pada proyek jalur kereta cepat.
[55] Anton Hermansyah, “China Shrugs Off Labor Influx into RI [Tiongkok Tak Indahkan Masuknya Buruh ke RI]”, The Jakarta Post, 2 Mei 2016, http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/02/china-shrugs-off-labor-influx-into-ri.html.
[56] “Selamat Datang Buruh Cina”, Tempo, 31 Agustus 2015.
[57] Alit Kertaraharja, “Celukan Bawang Power Plant to Boost Bali’s Electricity Supply [Pembangkit Listrik Celukan Bawang akan Naikkan Pasokan Listrik Bali]”, The Jakarta Post, 14 Agustus 2015, http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/14/celukan-bawang-power-plant-boost-bali-s-electricity-supply.html.
TETANG PENULIS
Aaron L. Connelly adalah seorang Research Fellow di Program Asia Timur di Lowy Institute for International Policy, dan ia berfokus pada Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Myanmar, dan peran AS di kawasan tersebut.
Sebelum bergabung dengan Lowy Institute, Aaron bekerja di Albright Stonebridge Group dan Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington. Ia dulu juga merupakan peserta program Fulbright dan visiting fellow di Centre for Strategic and International Studies di Jakarta. Aaron merupakan lulusan Walsh School of Foreign Service di Universitas Georgetown dan Elliott School of International Affairs di Universitas George Washington.
Posisi Aaron didukung oleh Engaging Asia Project di Lowy Institute, yang dibentuk dengan bantuan keuangan dari Pemerintah Australia.